Kampus Impian dalam Bayang-Bayang Drone: Antara Kemajuan dan Kemanusiaan

Teknologi semakin hari semakin canggih. Salah satu bukti paling mencolok dari kemajuan itu adalah kehadiran drone—perangkat terbang tanpa awak yang awalnya digunakan untuk keperluan militer, kini merambah ke berbagai sektor: pertanian, perfilman, logistik, hingga pendidikan. Namun, kemunculan teknologi ini tidak hanya membawa manfaat. Ada juga pertanyaan besar yang harus kita hadapi bersama: apakah kemajuan ini membawa kebaikan? Atau justru menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan?

Di tengah era digital ini, banyak kampus berlomba menjadi yang terdepan dalam hal teknologi. Mereka membangun laboratorium canggih, membuat program riset AI, bahkan memasukkan kurikulum drone ke dalam mata kuliah. Kampus impian kini bukan lagi hanya soal taman hijau yang luas atau gedung yang megah, tapi juga kemampuan adaptasi terhadap teknologi masa depan. Mahasiswa diajarkan bukan hanya teori, tapi juga cara mengoperasikan dan bahkan memprogram drone. Sebuah hal yang luar biasa, tentu saja.

Namun, apakah hanya itu yang kita harapkan dari kampus impian?

Kemajuan teknologi seperti drone memang membawa banyak manfaat praktis. Mereka bisa digunakan untuk pengawasan hutan, membantu penanggulangan bencana, hingga mendistribusikan bantuan ke daerah terpencil. Di kampus, drone bisa menjadi alat belajar, penelitian, bahkan media kreasi visual mahasiswa. Tapi di sisi lain, drone juga digunakan dalam perang, pengawasan massal, dan pelanggaran privasi. Maka di sinilah kampus punya peran penting: bukan hanya membekali kemampuan teknis, tetapi juga menyisipkan nilai-nilai etika dan kemanusiaan dalam proses pembelajaran.

Kampus impian harus menjadi ruang diskusi yang sehat, di mana mahasiswa bisa bertanya: “Apakah kita hanya membangun teknologi untuk efisiensi? Atau kita juga mempertimbangkan dampaknya terhadap manusia?” Kampus yang ideal tidak hanya mencetak ahli drone, tapi juga pemikir yang bijak. Yang tidak hanya tahu cara menerbangkan drone, tapi juga paham kapan seharusnya tidak menerbangkannya.

Bayangkan sebuah kampus yang mengajarkan cara membangun teknologi, sekaligus mengingatkan bahwa teknologi bukan segalanya. Kampus yang mendorong mahasiswanya membuat inovasi, tapi juga mendidik mereka untuk peduli pada masyarakat. Di sanalah nilai sejati dari pendidikan tinggi: menyeimbangkan akal dan hati.

Dalam bayang-bayang drone yang melayang di langit, mari kita bangun kampus impian yang tetap membumi. Kampus yang tidak terjebak dalam kemajuan semata, tetapi juga berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan. Karena teknologi tanpa hati bisa menjadi senjata, tapi teknologi dengan nilai bisa menjadi penyelamat.

Komentar