Saat Drone Berperang, Dunia Menonton: Kampus Impian sebagai Pusat Kesadaran Teknologi

Dunia kini berada di era baru, di mana peperangan tidak lagi hanya melibatkan tentara dan tank di medan perang. Teknologi telah membawa perubahan besar, dan salah satu bukti nyatanya adalah kehadiran drone di garis depan pertempuran. Drone bukan lagi mainan atau sekadar alat pemantauan cuaca. Mereka telah berkembang menjadi alat canggih yang bisa menentukan arah kemenangan dalam sebuah konflik.

Ketika kita berbicara tentang drone, yang terbayang mungkin adalah benda terbang kecil dengan empat baling-baling. Namun di dunia militer, drone bisa berukuran besar, dilengkapi kamera termal, peluru kendali, dan sistem pengendalian jarak jauh. Mereka dapat menjelajahi medan tempur tanpa risiko kehilangan nyawa pilot. Drone telah menjelma menjadi “mata dan telinga” pasukan, bahkan tangan yang menekan tombol peluncur rudal.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat berita tentang drone yang digunakan dalam konflik internasional. Negara-negara besar dan bahkan kelompok milisi kecil sudah mulai mengandalkan drone dalam strategi militernya. Yang menarik, masyarakat dunia bisa menyaksikan semua ini melalui layar ponsel mereka. Media sosial dan saluran berita memperlihatkan cuplikan serangan drone secara real-time. Dunia menonton, dan teknologi menjadi sorotan utama.

Lalu, bagaimana dengan kita yang hidup jauh dari zona perang? Apa pelajaran yang bisa kita ambil? Di sinilah peran penting kampus dan dunia pendidikan mulai terlihat. Kampus bukan hanya tempat mencari gelar. Ia adalah tempat memupuk kesadaran, berpikir kritis, dan memahami perkembangan teknologi. Kampus impian adalah kampus yang menyadari bahwa teknologi, seperti drone, bukan hanya soal alat, tapi juga soal etika, keamanan, dan dampak sosialnya.

Bayangkan sebuah kampus yang memiliki laboratorium drone, tempat mahasiswa belajar merakit, memprogram, dan menerbangkan drone. Bukan untuk tujuan perang, tetapi untuk solusi kemanusiaan—seperti mengirimkan bantuan medis ke daerah terpencil, membantu pemetaan bencana, atau menjaga hutan dari pembalakan liar. Inilah wajah baru pendidikan yang tidak hanya mengikuti tren, tetapi membentuk arah penggunaan teknologi.

Lebih dari itu, kampus impian juga mengajarkan pentingnya berpikir kritis terhadap penggunaan teknologi. Apakah kita hanya akan menjadi penonton ketika drone berperang? Atau kita bisa menjadi generasi yang bijak dalam menciptakan dan menggunakan teknologi demi perdamaian? Kampus dapat menjadi tempat diskusi lintas disiplin: teknik, hukum, filsafat, dan komunikasi bertemu untuk membicarakan satu hal yang sama—bagaimana menjadikan teknologi sebagai alat untuk kebaikan bersama.

Kesimpulannya, ketika drone berperang dan dunia menonton, kita punya pilihan: ikut menyaksikan tanpa memahami, atau belajar dan berkontribusi. Kampus impian adalah tempat di mana kesadaran itu tumbuh. Tempat di mana mahasiswa bukan hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan penjaga nilainya. Karena di tangan generasi muda yang sadar, teknologi bukan hanya soal kecanggihan—tetapi juga soal masa depan umat manusia.

Komentar